Novel ini berkisah kehidupan seputar anak jalanan yang hingga kini cukup mudah ditemukan di berbagai jalur raya di kota-kota besar, Indonesia. Singgungan terhadap keras dan panasnya dunia jalanan bukanlah hal yang asing dalam novel ini. Pembaca diajak cengkrama oleh ragam ilustrasi visual, audio, dan rasa yang deskriptif-variatif. Namun begitu, khas sederhananya bahasa yang jamak berlaku di jalanan tetap dihadirkan Mangun Kuncoro dengan kesantunan linier. Hampir tidak ada kata atau istilah "vulgar" yang dipilih penulisnya, seolah demi menghindari ledakan menularnya "istilah-istilah nakal" yang berpotensi menyerang atau "mengajari" pembaca. Meski demikian, penulis novel ini, tidak serta-merta menanggalkan kata-kata atau istilah yang dalam layaknya dunia nyata kerap berletupan. Sebab kata dan istilah itu sudah digantikan oleh kata-kata dan istilah yang lebih nyaman dalam imajinasi pendengaran kita. ***Lain halnya tentang pemilihan bahasa, kata, dan istilah yang digunakan Mangun Kuncoro, dalam novel ini juga tersaji ragam keunikan tersendiri. Di antaranya, tentang diangkatnya isu sosial, kemiskinan, dan ruang publik secara sederhana. Dari ketiga singgungan tema ini, kemiskinan berikut upaya pengentasannya secara mandiri merupakan titik tekannya. Khususnya kemiskinan yang melilit anak-anak jalanan. Adapun penekanan pada konflik yang bermuara dalam penceritaan gejolak batin tokoh Fatan itulah salah satu penggalan kisah yang mencerminkannya. Di sini, kemudian, mulai tampak benih-benih cerita yang nantinya menggemparkan jiwa sang tokoh utama. Derasnya ejekan, ledekan, dan cacian orang lain mulai diramu menjadi penyembuh luka batinnya. Kegamangan langkah yang menyuramkan kepuasnnya menjadi cercah-cercah yang menerangi pemahamannya. ***Dari novel ini, secara tidak langsung, pembaca diajak memahami dunia anak jalanan. Termasuk cara mendekati, berinteraksi, dan mengentaskanya dari jalanan yang penuh dengan kesan negatif itu. Tidak selamanya tindakan memberikan jaminan kenyamanan tempat dan makanan secara cuma-cuma, bisa menjadikannya saudara-saudara kita ini menjadi bahagia. Terlebih dengan cara menggusur, memburu, atau memukuli mereka dengan pentungan yang tak berperikemanusian itu. ------------- Mangun Kuncoro- Santri Pondok Pesantren Al Maliki Bahrul 'Ulum, Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur.
- Bergiat di Komunitas Pena (KOMA)
- Pimpinan Redaksi Majalah KAPAS Media
- .....
|
0 komentar